Minggu, 14 September 2008

BENARKAH SUNDALAND ITU ATLANTIS YANG HILANG ?

sumber :
mailis Baraya_Sunda@yahoogroups.com
Jum'at, 12 September 2008

(Pandangan dari Sisi Geologi dan Peluang dari Spekulasi Ilmiah) 
Oleh : Oki Oktariadi  
email : oki@plg.esdm. go.id
 
"Peradaban Atlantis yang hilang" hingga kini barangkali hanyalah 
sebuah mitos mengingat belum ditemukannya bukti-bukti yang kuat 
tentang keberadaannya.  Mitos itu  pertama kali dicetuskan oleh 
seorang akhli filsafat terkenal dari Yunani, Plato (427 - 347 SM), 
dalam bukunya "Critias dan Timaeus". Disebutkan oleh Plato  bahwa 
terdapat awal peradaban yang disebut Benua Atlantis; para penduduknya 
dianggap sebagai dewa, makhluk luar angkasa, atau bangsa superior; 
benua itu kemudian hilang,  tenggelam secara perlahan-lahan karena 
serangkaian bencana, termasuk gempa bumi. 
 
Selama lebih dari 2000 tahun, Atlantis yang hilang telah menjadi 
dongeng.  Tetapi sejak abad pertengahan, kisah Atlantis menjadi 
populer di dunia Barat. Banyak ilmuwan Barat secara diam-diam meyakini 
kemungkinan keberadaannya.  Diantara para ilmuwan itu banyak  yang 
menganggap bahwa Atlantis terletak di Samudra Atlantis, bahkan ada 
yang menganggap Atlantis terletak di Benua Amerika sampai Timur 
Tengah. Penelitian pun dilakukan di wilayah-wilayah tersebut. Akan 
tetapi,  kebanyakan peneliti itu  tidak memberikan bukti atau telaah 
yang cukup. Sebagian besar dari mereka hanya mengira-ngira. . 
 
Hanya beberapa tempat di bumi yang keadaannyua memiliki persayaratan 
untuk dapat diduga sebagai Atlantis sebagaimana dilukiskan oleh Plato 
lebih dari 20 abad yang lalu. Akan tetapi Samudera Atlantik tidak 
termasuk wilayah yang memenuhi persyaratan itu. Para peneliti masa 
kini malahan menunjuk Sundaland (Indonesia bagian barat hingga ke 
semenanjung Malaysia dan Thailand) sebagai Benua Atlantis yang hilang 
dan merupakan awal peradaban manusia 
. 
Fenomen Atlantis dan awal peradaban selalu merupakan impian para 
peneliti di dunia untuk membuktikan dan menjadikannya penemuan ilmiah 
sepanjang masa. Apakah pandangan geologi memberi petunjuk yang kuat 
terhadap kemungkinan ditemukannya Atlantis yang hilang itu? Apabila 
jawabannya negatif, apakah peluang yang dapat ditangkap dari 
perdebatan ada tidaknya Atlantis dan kemungkinan lokasinya di wilayah 
Indonesia?. 
 
PENDAHULUAN 
 
"Mitos" atau cerita tentang benua Atlantis yang hilang pertama kali 
dicetuskan oleh seorang filosof terkenal dari Yunani  bernama Plato 
(427 - 347 SM) dalam bukunya berujudl Critias and Timaeus. Penduduknya 
dianggap dewa, makhluk luar angkasa atau bangsa superior. Plato 
berpendapat bahwa peradaban dari para peghuni benua Atlantis yang 
hilang itulah sebagai sumber peradaban manusia saat ini.. 
 
Hampir semua tulisan tentang sejarah peradaban menempatkan Asia 
Tenggara sebagai kawasan 'pinggiran'. Kawasan yang kebudayaannya dapat 
subur berkembang hanya karena imbas migrasi manusia atau riak-riak 
difusi budaya dari pusat-pusat peradaban lain, baik yang berpusat di 
Mesir, Cina, maupun India. Pemahaman tersebut mengacu pada teori yang 
dianut saat ini yang  mengemukakan bahwa pada Jaman Es paling akhir 
yang dialami bumi terjadi sekitar 10.000 sampai 8.000 tahun yang lalu 
mempengaruhi migrasi spesies manusia. 
 
Jaman Es terakhir ini dikenal dengan nama periode Younger Dryas. Pada 
saat ini, manusia telah menyebar ke berbagai penjuru bumi berkat 
ditemukannya cara membuat api 12.000 tahun yang lalu. Dalam kurun 
empat ribu tahun itu, manusia telah bergerak dari kampung halamannya 
di padang rumput Afrika Timur ke utara, menyusuri padang rumput purba 
yang kini dikenal sebagai Afrasia. 
Padang rumput purba ini membentang dari pegunungan Kenya di selatan, 
menyusuri Arabia, dan berakhir di pegunungan Ural di utara. Jaman Es 
tidak mempengaruhi mereka karena kebekuan itu hanya terjadi di bagian 
paling utara bumi sehingga iklim di daerah tropik-subtropik justru 
menjadi sangat nyaman. Adanya api membuat banyak masyarakat manusia 
betah berada di padang rumput Afrasia ini. 
 
Maka, ketika para ilmuwan barat berspekulasi tentang keberadaan benua 
Atlantis yang hilang, mereka mengasumsikan bahwa lokasinya terdapat di 
belahan bumi Barat, di sekitar laut Atlantik, atau paling jauh di 
sekitar Timur Tengah sekarang. Penelitian untuk menemukan sisa 
Atlantis pun banyak dilakukan di kawasan-kawasan tersebut. Namun di 
akhir dasawarsa 1990, kontroversi tentang letak Atlantis yang hilang 
muluai muncul berkaitan dengan pendapat dua orang peneliti, yaitu: 
Oppeheimer (1999) dan Santos (2005). 
 
KONTROVERSI DAN REKONTRUKSI OPPENHEIMER 
 
Kontroversi tentang sumber peradaban dunia muncul sejak diterbitkannya 
buku Eden The East (1999) oleh  Oppenheimer, Dokter ahli genetik yang 
banyak mempelajari sejarah peradaban. Ia berpendapat bahwa Paparan 
Sunda (Sundaland) adalah merupakan  cikal bakal peradaban kuno atau 
dalam bahasa agama sebagai Taman Eden. Istilah ini diserap dari kata 
dalam bahasa Ibrani Gan Eden. Dalam bahasa Indonesia disebut Firdaus 
yang diserap dari kata Persia "Pairidaeza" yang arti sebenarnya adalah 
Taman. 
Menurut Oppenheimer,  munculnya peradaban di Mesopotamia, Lembah 
Sungai Indus, dan Cina justru dipicu oleh kedatangan para migran dari 
Asia Tenggara. Landasan argumennya adalah etnografi, arkeologi, 
osenografi, mitologi, analisa DNA, dan linguistik. Ia mengemukakan 
bahwa di wilayah Sundaland sudah ada peradaban yang menjadi leluhur 
peradaban Timur Tengah 6.000 tahun silam. Suatu ketika datang banjir 
besar yang menyebabkan penduduk Sundaland berimigrasi ke barat yaitu 
ke Asia, Jepang, serta Pasifik. Mereka adalah leluhur Austronesia. 
 
Gambar 1. Buku Eden The East 
(Oppenheimer, 1999) 
 
Rekonstruksi Oppenheimer diawali dari saat berakhirnya puncak Jaman Es 
(Last Glacial Maximum) sekitar 20.000 tahun yang lalu. Ketika itu, 
muka air laut masih sekitar 150 m di bawah muka air laut sekarang. 
Kepulauan Indonesia bagian barat masih bergabung dengan benua Asia 
menjadi dataran luas yang dikenal sebagai Sundaland. Namun, ketika 
bumi memanas, timbunan es yang ada di kutub meleleh dan mengakibatkan 
banjir besar yang melanda dataran rendah di berbagai penjuru dunia. 
 
Data geologi dan oseanografi mencatat setidaknya ada tiga banjir besar 
yang terjadi yaitu pada sekitar 14.000, 11.000, dan 8,000 tahun yang 
lalu. Banjir besar yang terakhir bahkan menaikkan muka air laut hingga 
5-10 meter lebih tinggi dari yang sekarang. Wilayah yang paling parah 
dilanda banjir adalah Paparan Sunda dan pantai Cina Selatan. Sundaland 
 malah menjadi pulau-pulau yang terpisah, antara lain Kalimantan, 
Jawa, Bali, dan Sumatera. Padahal, waktu itu kawasan ini sudah cukup 
padat dihuni manusia prasejarah yang berpenghidupan sebagai petani dan 
nelayan. 
 
Bagi Oppenheimer, kisah 'Banjir Nuh' atau 'Benua Atlantis yang hilang' 
tidak lain adalah rekaman budaya yang mengabadikan fenomena alam 
dahsyat ini. Di kawasan Asia Tenggara, kisah atau legenda seperti ini 
juga masih tersebar luas di antara masyarakat tradisional, namun belum 
ada yang meneliti keterkaitan legenda dengan  fenomena Taman Eden. 
 
BENUA ATLANTIS MENURUT ARYSO SANTOS 
 
Kontroversi dari Oppenheimer seolah dikuatkan oleh pendapat Aryso 
Santos. Profesor asal Brasil ini menegaskan bahwa Atlantis yang hilang 
sebagaimana cerita Plato itu adalah wilayah yang sekarang disebut 
Indonesia. Pendapat itu muncul setelah ia melakukan penelitian selama 
30 tahun yang menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally 
Found, The Definitifve Localization of Plato's Lost Civilization 
(2005). Santos dalam bukunya tersebut menampilkan 33 perbandingan, 
seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara 
bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah 
Sundaland (Indonesia bagian Barat).. 
 
Santos menetapkan bahwa pada masa lalu Atlantis merupakan benua yang 
membentang dari bagian selatan India, Sri Langka, dan Indonesia bagian 
Barat meliputi Sumatra, Kalimantan, Jawa dan terus ke arah timur. 
Wilayah Indonesia bagian barat sekarang sebagai pusatnya. Di wilayah 
itu terdapat puluhan gunung berapi aktif dan dikelilingi oleh samudera 
yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan 
Samudera Pasifik. 
 
Argumen Santos tersebut didukung banyak arkeolog Amerika Serikat 
bahkan mereka meyakini bahwa benua Atlantis adalah sebuah pulau besar 
bernama Sundaland, suatu wilayah yang kini ditempati Sumatra, Jawa dan 
Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun silam, benua itu tenggelam diterjang 
banjir besar seiring berakhirnya zaman es. 
 
Gambar 2. Wilayah Sundaland (Indonesia bagian Barat dalam buku Santos
 (2005) 
 
Menurut Plato, Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan 
gunung berapi yang secara bersamaan meletus dan mencairnya Lapisan Es 
yang pada masa itu sebagian besar benua masih diliputi oleh 
Lapisan-lapisan Es. Maka tenggelamlah sebagian benua tersebut. 
 
Santos berpendapat bahwa meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi 
secara bersamaan tergambarkan pada wilayah Indonesia (dulu). Letusan 
gunung api yang dimaksud di antaranya letusan gunung Meru di India 
Selatan, letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba, 
dan letusan gunung Semeru/Mahameru di Jawa Timur. Letusan yang paling 
dahsyat di kemudian hari adalah letusan Gunung Tambora di Sumbawa yang 
memecah bagian-bagian pulau di Nusa Tenggara dan Gunung Krakatau 
(Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa membentuk Selat Sunda 
(Catatan : tulisan Santos ini perlu diklarifikasi dan untuk sementara 
dikutip di sini sebagai apa yang diketahui Santos). 
 
Berbeda dengan Plato, Santos tidak setuju mengenai lokasi Atlantis 
yang dianggap terletak di lautan Atlantik. Ilmuwan Brazil itu 
berargumentasi, bahwa letusan berbagai gunung berapi menyebabkan 
lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya 
bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut 
membebani samudera dan dasarnya sehingga mengakibatkan tekanan luar 
biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. 
Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh 
gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan 
gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events. 
Catatan : pernyataan Santos ini disajikan seperti apa adanya dan tidak 
merupakan pendapat penulis. 
 
Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos 
sependapat yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah 
Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik 
Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di 
Indonesia, diantaranya ialah: Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, 
Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. 
Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali. 
 
Dalam usaha mengemukakan pendapat, tampak Plato telah melakukan dua 
kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. 
Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera 
Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian oleh para akhli 
Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan 
bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah 
semena-mena ada peribahasa yang berkata, "Amicus Plato, sed magis 
amica veritas." Artinya,"Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih 
senang kepada kebenaran." 
 
Atlantis memang misterius, dan karenanya menjadi salah satu tujuan 
utama arkeologi di dunia. Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan 
tersebut bisa jadi akan menjadi salah satu penemuan terbesar sepanjang 
masa. 
 
PANDANGAN GEOLOGI 
 
Pendekatan ilmu geologi untuk mengungkap fenomena hilangnya Benua 
Atlantis dan awal peradaban kuno, dapat ditinjau dari dua sudut 
pandang yaitu pendekatan tektonik lempeng dan kejadian zaman es. 
 
Wilayah Indonesia dihasilkan oleh evolusi dan pemusatan lempeng 
kontinental Eurasia, lempeng lautan Pasifik, dan lempeng Australia 
Lautan Hindia (Hamilton, 1979). umumnya disepakati bahwa pengaturan 
fisiografi kepulauan Indonesia dikuasai oleh daerah paparan kontinen, 
letak daerah Sundaland di barat, daerah paparan Sahul atau Arafura di 
timur. Intervensi area meliputi suatu daerah kompleks secara geologi 
dari busur kepulauan, dan cekungan laut dalam (van Bemmelen, 1949). 
 
Kedua area paparan memberikan beberapa persamaan dari inti-inti 
kontinen yang stabil ke separuh barat dan timur kepulauan. Area 
paparan Sunda menunjukkan perkembangan bagian tenggara di bawah 
permukaan air dari lempeng kontinen Eurasia dan terdiri dari 
Semenanjung Malaya, hampir seluruh Sumatra, Jawa dan Kalimantan, Laut 
Jawa dan bagian selatan Laut China Selatan. 
Tatanan tektonik Indonesia bagian Barat merupakan bagian dari sistim 
kepulauan vulkanik akibat interaksi penyusupan Lempeng Hindia- 
Australia di Selatan Indonesia. Interaksi lempeng yang berupa jalur 
tumbukan (subduction zone) tersebut memanjang mulai dari kepulauan 
Tanimbar sebelah barat Sumatera, Jawa sampai ke kepulauan Nusa 
Tenggara di sebelah Timur. Hasilnya adalah terbentuknya busur 
gunungapi (magmatic arc). 
 
Gambar 3. Rekontruksi Tektonik Lempeng di Wilayah Asia Tenggara (Hall, 
2002). Garis merah adalah batas wilayah yang dikenal sebagai Sundaland 
 
Rekontruksi tektonik lempeng tersebut akhirnya dapat menerangkan 
pelbagai gejala geologi dan memahami pendapat Santos, yang menyakini 
Wilayah Indonesia memiliki korelasi dengan anggapan Plato yang 
menyatakan bahwa tembok Atlantis terbungkus emas, perak, perunggu, 
timah dan tembaga, seperti terdapatnya mineral berharga tersebut pada 
jalur magmatik di Indonesia. Hingga saat ini, hanya beberapa tempat di 
dunia yang merupakan produsen timah utama. Salah satunya disebut 
Kepulauan Timah dan Logam, bernama Tashish, Tartessos dan nama lain 
yang menurut Santos (2005) tidak lain adalah Indonesia. Jika Plato 
benar, maka Atlantis sesungguhnya adalah Indonesia. 
 
Selain menunjukan kekayaan sumberdaya mineral, fenomena tektonik 
lempeng tersebut menyebabkan munculnya titik-titik pusat gempa, 
barisan gunung api aktif (bagian dari Ring of Fire dunia),  dan 
banyaknya komplek patahan (sesar) besar, tersebar di Sumatera, Jawa, 
Nusa Tenggara dan Indonesia bagian timur. Pemunculan gunungapi aktif, 
titik-titik gempa bumi dan kompleks patahan yang begitu besar, seperti 
sesar Semangko (Great Semangko Fault membujur dari Aceh sampai teluk 
Semangko di Lampung) memperlihatkan tingkat kerawanan yang begitu 
besar. Menurut Kertapati (2006), karakteristik gempabumi di daerah 
Busur Sunda pada umumnya diikuti tsunami. 
 
Para peneliti masa kini  terutama  Santos (2005) dan sebagian peneliti 
Amerika Serikat memiliki kenyakinan bahwa gejala kerawanan bencana 
geologi wilayah Indonesia adalah sesuai dengan anggapan Plato yang 
menyatakan bahwa Benua Atlantis telah hilang akibat letusan gunung 
berapi yang bersamaan. 
 
Pendekatan lain akan keberadaan Benua Atlantis dan awal peradaban 
manusia (hancurnya Taman Eden) adalah kejadian Zaman Es. Pada zaman Es 
suhu atau iklim bumi turun dahsyat dan menyebabkan peningkatan 
pembentukan es di kutub dan gletser gunung. Secara geologis, Zaman Es 
sering digunakan untuk merujuk kepada waktu lapisan Es di belahan bumi 
utara dan selatan; dengan definisi ini kita masih dalam Zaman Es. 
Secara awam untuk waktu 4 juta tahun ke belakang, definisi Zaman Es 
digunakan untuk merujuk kepada waktu yang lebih dingin dengan tutupan 
Es yang luas di seluruh benua Amerika Utara dan Eropa. 
 
Penyebab terjadinya Zaman Es antara lain adalah terjadinya proses 
pendinginan aerosol yang sering menimpa planet bumi. Dampak ikutan 
dari peristiwa Zaman Es adalah penurunan muka laut.. Letusan gunung api
 
dapat menerangkan berakhirnya Zaman Es pada skala kecil dan  teori 
kepunahan Dinosaurus dapat menerangkan akhir Zaman Es pada skala 
besar. 
 
Gambar 4. Penyebaran es di belahan bumi utara pada masa Pleistosen
 (USGS, 2005) 
 
Dari sudut pandang di atas, Zaman Es terakhir dimulai sekitar 20.000 
tahun yang lalu dan berakhir kira-kira 10.000 tahun lalu atau pada 
awal kala Holocene (akhir Pleistocene) . Proses pelelehan Es di zaman 
ini berlangsung relatif lama dan beberapa ahli membuktikan proses ini 
berakhir sekitar 6.000 tahun yang lalu. 
 
Pada Zaman Es, pemukaan air laut jauh lebih rendah daripada sekarang, 
karena banyak air yang tersedot karena membeku di daerah kutub. Kala 
itu Laut China Selatan kering, sehingga kepulauan Nusantara barat 
tergabung dengan daratan Asia Tenggara. Sementara itu pulau Papua juga 
tergabung dengan benua Australia. 
 
Ketika terjadi peristiwa pelelehan Es tersebut maka terjadi 
penenggelaman daratan yang luas. Oleh karena itu gelombang migrasi 
manusia dari/ke Nusantara mulai terjadi. Walaupun belum ditemukan 
situs pemukiman purba, sejumlah titik diperkirakan sempat menjadi 
tempat tinggal manusia purba Indonesia sebelum mulai menyeberang selat 
sempit menuju lokasi berikutnya (Hantoro, 2001). 
 
Tempat-tempat itu dapat dianggap sebagai awal pemukiman pantai di 
Indonesia. Seiring naiknya paras muka laut, yang mencapai puncaknya 
pada zaman Holosen  6.000 tahun dengan kondisi muka laut   3 m
 lebih 
tinggi dari muka laut sekarang, lokasi-lokasi tersebut juga bergeser 
ke tempat yang lebih tinggi masuk ke hulu sungai. 
 
Berkembangnya budaya manusia, pola berpindah, berburu dan meramu 
(hasil) hutan lambat laun berubah menjadi penetap, beternak dan 
berladang serta menyimpan dan bertukar hasil dengan kelompok lain. 
Kemampuan berlayar dan menguasai navigasi samudera yang sudah lebih 
baik, memungkinkan beberapa suku bangsa Indonesia mampu menyeberangi 
Samudra Hindia ke Afrika dengan memanfaatkan pengetahuan cuaca dan 
astronomi. Dengan kondisi tersebut tidak berlebihan Oppenheimer 
beranggapan bahwa 
Taman Eden berada di wilayah Sundaland. 
 
Taman Eden hancur akibat air bah yang memporak porandakan dan mengubur 
sebagian besar hutan-hutan maupun taman-taman sebelumnya. Bahkan 
sebagian besar dari permukaan bumi ini telah tenggelam dan berada 
dibawah permukaan laut, Jadi pendapat Oppenheimer memiliki kemiripan 
dengan akhir Zaman Es yang menenggelamkan sebagian daratan Sundaland. 
 
MENANGKAP PELUANG 
 
Pendapat Oppenheimer (1999) dan Santos (2005) bagi sebagian para 
peneliti adalah kontroversial dan mengada-ada, tentu hal yang wajar 
dalam pengembangan ilmu untuk mendapatkan kebenaran. Beberapa tahun ke 
belakang pendapat yang paling banyak diterima adalah seperti yang 
dikemukakan oleh Kircher (1669) bahwa Atlantis itu berada di 
tengah-tengah Samudera Atlantik sendiri, dan tempat yang paling 
meyakinkan adalah Pulau Thera di Laut Aegea, sebelah timur Laut 
Tengah. 
 
Pulau Thera yang dikenal pula sebagai Santorini adalah pulau gunung 
api yang terletak di sebelah utara Pulau Kreta. Sekira 1.500 SM, 
sebuah letusan gunung api yang dahsyat mengubur dan menenggelamkan 
kebudayaan Minoan. Hasil galian arkeologis menunjukkan bahwa 
kebudayaan Minoan merupakan kebudayaan yang sangat maju di Eropa pada 
zaman itu, namun demikian sampai saat ini belum ada kesepakatan dimana 
lokasi Atlantis yang sebenarnya. Setiap teori memiliki pendukung 
masing-masing yang biasanya sangat fanatik dan bahkan bisa saja 
Atlantis hanya ada dalam pemikiran Plato. 
 
Perlu diketahui pula bahwa kandidat lokasi Atlantis bukan hanya 
Indonesia, banyak kandidat lainnya antara lain : Andalusia, Pulau 
Kreta, Santorini, Tanjung Spartel, Siprus, Malta, Ponza, Sardinia, 
Troy, Tantali, Antartika, Kepulauan Azores, Karibia, Bolivia, Meksiko, 
Laut Hitam, Kepulauan Britania, India, Srilanka, Irlandia, Kuba, 
Finlandia, Laut Utara, Laut Azov, Estremadura dan hasil penelitian 
terbaru oleh Kimura's (2007) yaitu menemukan  beberapa monument batu 
dibawah perairan Yonaguni, Jepang yang diduga  sisa-sisa dari 
peradaban Atlantis atau Lemuria. 
 
Gambar 5. Monument Batu yang berhasil ditemukan dibawah perairan 
Yonaguni, Jepang, (Spiegel Distribution TV, 2000) 
 
PELUANG PENGEMBANGAN ILMU 
 
Adalah fakta bahwa saat ini berkembang  pendapat yang menjadikan 
Indonesia sebagai wilayah yang dianggap ahli waris Atlantis yang 
hilang. Untuk itu kita harus bersyukur dan membuat kita tidak rendah 
diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya 
adalah merupakan pusat peradaban dunia yang misterius. Bagi para 
arkeolog atau oceanografer moderen, Atlantis  merupakan obyek menarik 
terutama soal teka-teki dimana sebetulnya lokasi benua tersebut dan 
karenanya menjadi salah satu tujuan utama arkeologi dunia. Jika 
Atlantis ditemukan, maka penemuan tersebut bisa jadi akan menjadi 
salah satu penemuan terbesar sepanjang masa. 
 
Perkembangan fenomena ini menyebabkan Indonesia menjadi lebih dikenal 
di dunia internasional khususnya diantara para peneliti di berbagai 
bidang yang terkait. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia perlu 
menangkap peluang ini dalam rangka meningkatkan pengembangan ilmu 
pengetahuan dan teknologi. Peluang ini penting dan jangan sampai 
diambil oleh pihak lain. 
 
Kondisi ini mengingatkan pada  Sarmast (2003), seorang arsitek Amerika 
keturunan Persia yang mengklaim telah menemukan Atlantis dan 
menyebutkan bahwa Atlantis dan Taman Firdaus adalah sama. Sarmast 
menunjukkan bahwa Laut Mediteranian adalah lokasi Atlantis, tepatnya 
sebelah tenggara Cyprus dan terkubur sedalam 1500 meter di dalam air. 
'Penemuan' Sarmast, menjadikan kunjungan wisatawan ke Cyprus melonjak 
tajam. Para penyandang hibah dana penelitian Sarmast, seperti editor, 
produser film, agen media dll mendapat keuntungan besar. Mereka seolah 
berkeyakinan bahwa jika Sarmast benar, maka mereka akan terkenal; dan 
jika tidak, mereka telah mengantungi uang yang sangat besar dari para 
sponsor. 
 
Santos (2005) dan  seorang arkeolog Cyprus sendiri yaitu Flurentzos 
dalam artikel berjudul : "Statement on the alleged discovery of 
atlantis off Cyprus" (Santos, 2003) memang menolak penemuan Sarmast. 
Mereka sependapat dengan Plato dan menyatakan secara tegas bahwa 
Atlantis berada di luar Laut Mediterania. Pernyataan ini didukung oleh 
Morisseau (2003) seorang ahli geologis Perancis yang tinggal di pulau 
Cyprus. Ia menyatakan tidak berhubungan sama sekali dengan fakta 
geologis. Bahkan Morisseau menantang Sarmant untuk melakukan debat 
terbuka. Namun demikian, usaha Sarmat  untuk membuktikan bahwa 
Atlantis yang hilang itu terletak di Cyprus telah menjadikan kawasan 
Cyprus dan sekitarnya pada sauatu waktu tertentu dibanjiri oleh 
wisatawan ilmiah dan mampu mendatangkan kapital cukup berasal dari 
para sponsor dan wisatawan ilmiah tersebut. 
 
Gambar 6. Peta Atlantis menurut  Kircher (1669). Pada peta tersebut, 
Atlantis terletak di tengah Samudra Atlantik. 
 
Demikian juga dengan letak Taman Eden, sudah banyak yang melakukan 
penelitian mulai dari agamawan sampai para ahli sejarah maupun ahli 
geologi jaman sekarang. Ada yang menduga letak Taman Eden berada di 
Mesir, di Mongolia, di Turki, di India, di Irak dsb-nya, tetapi tidak 
ada yang bisa memastikannya. 
 
Penelitian yang cukup konprehensif berkenaan dengan Taman Eden 
diantaranya dilakukan oleh Zarins (1983) dari Southwest Missouri State 
University di Springfield.  Ia telah mengadakan penelitian lebih dari 
10 tahun untuk mengungkapkan rahasia dimana letaknya Taman Eden. Ia 
menyelidiki foto-foto dari satelit dan berdasarkan hasil penelitiannya 
ternyata Taman Eden itu telah tenggelam dan sekarang berada di bawah 
permukaan laut di teluk Persia. 
 
Gambar 7.  Taman Eden menurut Zarins (1983) 
 
Hingga saat ini, letak dari Atlantis dan Taman Eden masih menjadi 
sebuah kontroversi, namun berdasarkan bukti arkeologis dan beberapa 
teori yang dikemukakan oleh para peneliti, menunjukkan kemungkinan 
peradaban tersebut berlokasi di Samudera Pasifik (disekitar Indonesia 
sekarang). Ini menjadi tantangan para peneliti Indonesia untuk 
menggali lebih jauh, walaupun banyak juga yang skeptis, beranggapan 
bahwa Atlantis dan Taman Eden tidak pernah ada di muka bumi ini. 
 
PENUTUP 
 
Peluang pengembangan ilmu sebenarnya telah direalisasikan oleh LIPI 
melalui gelaran 'International Symposium on The Dispersal of 
Austronesian and the Ethnogeneses of the People in Indonesia 
Archipelago, 28-30 Juni 2005 yang lalu. Salah satu tema dalam gelaran 
tersebut menyangkut  banyak temuan penting soal penyebaran dan asal 
usul manusia dalam dua dekade terakhir.  Salah satu temuan penting 
dari hasil penelitian yang dipresentasikan dalam simposium tersebut 
adalah hipotesa adanya sebuah pulau yang sangat besar terletak di Laut 
Cina Selatan yang kemudian tenggelam setelah Zaman Es.. 
 
Menurut Jenny (2005), hipotesa itu berdasarkan pada kajian ilmiah 
seiring makin mutakhirnya pengetahuan tentang arkeologi molekuler. 
Salah satu pulau penting yang tersisa dari benua Atlantis jika memang 
benar, adalah Pulau Natuna, Riau. Berdasarkan kajian biomolekuler, 
penduduk asli Natuna diketahui memiliki gen yang mirip dengan bangsa 
Austronesia tertua. Bangsa Austronesia diyakini memiliki tingkat 
kebudayaan tinggi, seperti bayangan tentang bangsa Atlantis yang 
disebut-sebut dalam mitos Plato. 
 
Ketika Zaman Es berakhir, yang ditandai tenggelamnya 'benua Atlantis', 
bangsa Austronesia menyebar ke berbagai penjuru. Mereka lalu 
menciptakan keragaman budaya dan bahasa pada masyarakat lokal yang 
disinggahinya. Dalam tempo cepat yakni pada 3.500 sampai 5.000 tahun 
lampau kebudayaan ini telah menyebar. Kini rumpun Austronesia 
menempati separuh muka bumi. 
 
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa asal usul 
Taman Eden (manusia modern) dan hilangnya benua Atlantis sangat 
berkaitan dengan kondisi geologi khususnya aktivitas tektonik lempeng 
dan peristiwa Zaman Es. Perubahan iklim yang drastik di dunia, 
menyebabkan  berubahnya muka laut, kehidupan binatang dan 
tumbuh-tumbuhan. 
 
Zaman Es memberi ruang yang besar kepada perkembangan peradaban 
manusia yang amat besar di Sundaland. Pada saat itu suhu bumi amat 
dingin, kebanyakan air  dalam keadaan membeku dan membentuk glasier. 
Oleh karena itu kebanyakan kawasan bumi tidak sesuai untuk didiami 
kecuali di kawasan khatulistiwa yang lebih panas. 
 
Diantara kawasan ini adalah wilayah Sundaland dan Paparan Sahul serta 
kawasan di sekitarnya yang memiliki banyak gunung api aktif yang 
memberikan kesuburan tanah. Dengan demikian keduanya memiliki tingkat 
kenyamanan tinggi untuk berkembangnya  peradaban manusia. 
 
Adapun wilayah lainnya tidak cukup memiliki kenyamanan berkembangnya 
peradaban, karena semua air dalam keadaan membeku yang membentuk 
aapisan es yang tebal.  Akibatnya, muka laut turun hingga 200 kaki 
dari muka laut sekarang. 
 
Wilayah Sundaland yang memiliki iklim tropika dan memiliki kondisi 
tanah subur, menunjukkan tingkat keleluasaan untuk didiami. 
Kemungkinan pusat peradaban adalah berada antara Semenanjung Malaysia 
dan Kalimantan, tepatnya sekitar Kepulauan Natuna (sekitar laut China 
Selatan) atau pada Zaman Es tersebut merupakan muara Sungai yang 
sangat besar yang mengalir di Selat Malaka menuju laut China Selatan 
sekarang. Anak-anak sungai dari sungai raksasa tersebut adalah 
sungai-sungai besar yang berada di Pulau Sumatera, dan Pulau 
Kalimantan bagian Barat dan Utara. 
 
Gambar 8. Pola aliran sungai purba di daratan paparan tepian kontinen 
Sunda (Hantoro, 2007). 
 
Kemungkinan kedua adalah Muara Sungai Sunda yang mengalir di Laut Jawa 
menuju Samudera Hindia melalui Selat Lombok. Hulu dan anak-anak sungai 
terutama berasal dari Sumatera bagian Selatan, seluruh Pulau Jawa, dan 
Pulau kalimantan bagian Selatan. 
Oleh karena itu klaim bahwa awal peradaban manusia berada di wilayah 
Mediterian patut dipertanyakan. Sebab pada masa itu kondisi iklim 
sangat dingin dan beku, lapisan salju di wilayah Eropa dapat 
menjangkau hingga 1 km tebalnya dari permukaan bumi. Keadaan di Eropa 
dan Mesir pada masa itu adalah sama seperti apa yang ada di kawasan 
Artik dan Antartika sekarang ini. 
 
Kawasan Sundaland pada saat itu walaupun memiliki suhu paling dingin 
sekalipun, tetap dapat didiami dan menjadi kawasan bercocok tanam 
kerena terletak di sekitar garisan khatulistiwa. Lebih menarik lagi, 
dengan muka laut yang lebih rendah, pada masa itu Sundaland adalah 
satu daratan benua yang menyatu dengan Asia dan terbentang membentuk 
kawasan yang amat luas dan datar. Apabila bumi menjadi semakin panas 
dan sebagian daratan Sundaland tenggelam daerah ini tetap dapat 
didiami dan tetap subur. 
 
Di sisi lain kenyamanan iklim dan potensi sumberdaya alam yang 
dimiliki wilayah Sundaland, juga dibayangi oleh kerawanan bencana 
geologi yang begitu besar akibat pergerakan lempeng benua seperti yang 
dirasakan saat ini. Kejadian gempabumi, letusan gunung api, tanah 
longsor dan tsunami yang terjadi di masa kini juga terjadi di masa 
lampau dengan intensitas yang lebih tinggi seperti letusan Gunung 
Toba, Gunung Sunda dan gunung api lainnya yang belum terungkap dalam 
penelitian geologi. 
Instansi yang terkait diharapkan dapat berperan menangkap peluang 
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk mengungkap fenomena 
Sundaland sebagai Benua Atlantis yang hilang maupun sebagai Taman 
Eden. Paling tidak peranan instansi tersebut dapat memperoleh 
temuan-temuan awal (hipothesis) yang mampu mengundang minat penelitian 
dunia untuk melakukan riset yang komprehensif dan berkesinambungan. . 
 
Keberhasilan langkah upaya mengungkap suatu fenomena alam akan membuka 
peluang pengembangan berbagai sektor diantaranya adalah sektor 
pariwisata. Kemampuan manajemen kepariwisataan yang baik, suatu 
kegiatan penelitian berskala internasional artinya hipotesis 
penelitian yang dibangun dapat mempengaruhi wilayah dunia lainnya, 
akan berpotensi  menjadi kegiatan wisata ilmiah yang dapat 
menghasilkan devisa negara andalan dan basis ekonomi masyarakat 
seperti yang telah dinikmati oleh Mesir, Yunani, Cyprus dll. 
 
Ucapan Terima Kasih—Terima kasih penulis sampaikan kepada: 
1)      Prof. Dr. Ir. Adjat Sudradjat, M.Sc atas saran dan koreksinya. 
2)      Ir. Oman Abdurahman atas review dan editing keseluruhan isi
 tulisan. 
 
Penulis adalah peserta Program Doktor Pengembangan Kewilayahan di 
Universitas Padjadjaran Bandung 


0 komentar:


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Dresses. Powered by Blogger