Senin, 22 September 2008

Ilmuwan-Ilmuwan Indonesia Berprestasi Global

Oleh : marhum Mochtar <Mochtar_Marhum@yahoo.com>

[ Senin, 22 September 2008 ]
Nama Mendunia, Gaji Rp 2,4 Juta
Ilmuwan-IlmuwanIndonesia Berprestasi Global

Enam ilmuwan Indonesia masuk daftar Wise Index of Leading Scientists and Engineer. Daftar tersebut dikeluarkan sebuah lembaga internasional berkredibilitas di bidang sains dan teknologi. Siapa saja mereka? Mengapa dalam hal ini kita masih kalah dengan Malaysia?

----------

Malu. Itulah yang dirasakan Tjia May On ketika namanya masuk deretan Wise Index of Leading Scientists and Engineer bersama lima ilmuwan tanah air yang lain. Mengapa malu? Guru besar Fisika dari ITB (Institut Teknologi Bandung ) itu lantas membandingkan dengan negara lain.

''Malaysia saja punya 27 ilmuwan yang diakui dunia. Sampai-sampai dalam daftar itu kita ini masih kalah dengan Maroko, yang secara kultur dan kesejahteraan masyarakat jauh di bawah Indonesia,'' kata profesor berusia 74 tahun yang masih tampak energik ini ketika didatangi Jawa Pos di kantornya, kompleks kampus ITB, Jumat lalu (19/9).

Wise Index of Leading Scientists and Engineer adalah sebuah daftar yang dikeluarkan Comstech (Standing Committee on Scientific and Technological Cooperation), lembaga yang bertujuan meningkatkan promosi serta kerja sama sains dan teknologi di antara negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Nama Tjia masuk deretan daftar tersebut karena konsistensinya dalam menekuni bidang partikel kuantum dan kosmologi relativistik. Dia juga menekuni penelitian polimer, optik nonlinier, dan superkonduktor.

Selama 33 tahun, Tjia tekun dengan penelitiannya itu, baik dilakukan secara individu maupun tim. Hingga kini, profesor kelahiran Probolinggo 25 Desember 1934 itu telah menerbitkan dua buku teks, 24 penelitian kolaboratif internasional, 86 jurnal ilmiah internasional, 44 presentasi simposium internasional, 44 publikasi jurnal nasional, dan 77 presentasi imiah nasional.

Sebagian karya ilmiahnya dipublikasikan di jurnal internasional Physical Review, Nuclear Physics, Physica C, International Journal of Quantum Chemistry, Review of Laser Engineering, dan Journal of Non-linear Optical Physics.

Tjia menyelesaikan studi sebagai sarjana fisika pada 1962 di ITB. Setahun kemudian dia melanjutkan belajar fisika partikel di Northwestern University, Amerika Serikat, hingga meraih PhD pada 1969 dengan tesis berjudul �Saturation of A Chiral Charge-Current Commutator.

Pada 1966, risetnya bersama fisikawan CH Albright dan LS Liu masuk Physical Review Letters dengan judul Quark Model Approach in the Semileptonic Reaction.

Pada awal 1960-an, para sarjana fisika di Indonesia baru mempelajari partikel kuantum dan kosmologi relativistik. Dua bidang itu yang mengubah pandangan dunia secara radikal-revolusioner awal abad XX tentang alam semesta dan asal-usulnya. Sepuluh tahun kemudian, di Indonesia hanya ada lima nama yang punya otoritas untuk berbicara tentang kuantum dan relativitas. Salah seorang di antara mereka adalah Tjia. Empat nama lain kala itu adalah Ahmad Baiquni, Muhammad Barmawi, Pantur Silaban, dan Jorga Ibrahim. Mereka adalah angkatan pertama yang jumlah penerusnya relatif sedikit dibandingkan dengan bidang fisika terapan.

Tjia juga sempat ikut riset di International Center of Theoretical Physics (ICTP), Trieste, Italia, yang didirikan fisikawan peraih hadiah Nobel asal Pakistan, Abdus Salam. Saat itulah, dia meninggalkan fisika partikel dan memasuki riset polimer, optik nonlinier, dan superkonduktor. Dalam dua bidang terakhir itu, namanya menginternasional.

Penggemar musik klasik karya Bach, Haydn, Mozart, dan Beethoven itu lantas mengkritisi kebijakan pemerintah Indonesia yang kurang berpihak kepada pengembangan ilmu. Salah satu contohnya, tegas dia, adalah rendahnya kesejahteraan secara finansial yang diberikan pemerintah kepada ilmuwan dan peneliti. ''Saya tidak mencontohkan siapa-siapa, Anda lihat saya saja,'' ujar penerima penghargaan Satyalencana Karya Satya itu.

Tjia menceritakan, dia pensiun dari ITB dengan gaji Rp 2,4 juta. Sampai sekarang, dia bahkan tetap tinggal di kompleks perumahan pegawai ITB. Layaknya pegawai negeri sipil (PNS) lain, untuk memenuhi kebutuhan dapurnya, dia bahkan masih sering ''mengamen'' mengajar di kampus lain. ''Seminggu dua kali saya mengajar di Universitas Indonesia (UI), naik kereta biar bisa baca-baca,'' tuturnya.

Tjia juga menyinggung seputar riset Indonesia yang tertinggal jauh dari negara lain. Semua, lanjut dia, mengarah kepada kesalahan pada sistem riset di Indonesia. Pertama, karena memandang orang secara pragmatis, berdasarkan gelar saja. Kedua, Indonesia belum sadar akan kekuatan riset. Dan, selanjutnya adalah paradigma pemerataan yang menyesatkan.

Soal gelar itu, Tjia konsisten. Ketika dia menjabat sekretaris jurusan (satu-satunya jabatan birokrasi yang pernah dia emban), dia mengusulkan agar setiap papan nama staf pengajar ITB tidak mencantumkan gelar. Dan, itu dia lakukan selama menjabat.

''Zaman sekarang, setelah jadi doktor, orang terus merasa jadi gusti,'' kritiknya. ''Indonesia punya banyak doktor, tapi banyak yang mandul!'' sambungnya.

Di Amerika Serikat (AS), terang Tjia, seorang ilmuwan bisa saja masuk ke dunia birokrat. Menjadi kepala NASA, misalnya. Namun, di AS, track record seorang calon kepala NASA benar-benar dilihat. Jadi, karya-karyanya berupa hasil penelitian atau publikasinya yang menjadi pertimbangan. Di sana, terang dia, orang yang benar-benar teruji dan berpengalaman saja yang bisa duduk di posisi strategis semacam itu. ''Hasilnya jelas memuaskan, kebijakan-kebijakannya benar-benar mengena dan dapat membangun,'' tegasnya.

Menurut Tjia, hal itu menjelaskan mengapa di Indonesia banyak kebijakan, terutama di dalam dunia sains dan teknologi, yang tidak mengena dan terkadang justru melenceng jauh. Selain itu, banyak dana riset hanya terbuang percuma karena tidak efektif dan efisien akibat orang-orang yang berkecimpung di dalamnya hanya bergelar doktor, tanpa karya dan kompetensi nyata.

***

Menurut Tjia, pengajaran fisika di Indonesia justru membunuh kreativitas murid. Baik yang diajarkan di setingkat SMP maupun SMA. Dia mencontohkan, proses mengajar selama ini hanya ditekankan kepada satu proses pemahaman fenomena alam, atau lazim dikenali sebagai proses deduktif. Bila cara itu yang digunakan, proses itu tidak akan berhasil membuat anak menjadi kritis analitis. Justru efek sampingnya membunuh kreativitas anak. Terutama dalam upaya menyisir fakta-fakta dari fenomena rumit untuk menghasilkan konsep hipotesis atau model teori yang sederhana.

''Mengapa negara kita semrawut? Jawabannya karena orang hukum hanya bicara bukti, bukan fakta,'' katanya.

Dalam pengajaran fisika di sekolah-sekolah menengah di Indonesia, menurut Tjia, anak diajarkan terlatih menurunkan rumus. Namun, sebaliknya, anak tidak diberi ruang untuk melatih melakukan generalisasi, abstraksi, atau idealisasi dari fakta atau fenomena alam untuk merumuskan suatu model teori. ''Padahal, dalam melakukan generalisasi inilah, tumbuh kreativitas anak dalam melihat fenomena alam,'' katanya. (zul/kum)

[ Senin, 22 September 2008 ]
Effendy PhD, Profesor Kimia Langka
Demi Indonesia, Tolak Tawaran dari Luar Negeri

Namanya singkat: Effendy. Pada 1994, ketika umurnya 38 tahun, dia sudah menjadi doktor bidang kimia anorganik fisik, konsentrasi kristalografi dari University of Western Australia. Kini dia tergolong profesor langka di Indonesia karena menekuni bidang yang langka.

---------

Sejak 1990 hingga saat ini, Effendy tercatat telah melakukan 74 kali penelitian. Semuanya terpublikasi dalam jurnal internasional. Antara lain Australian Journal of Chemistry, Inorganic Chemistry Communication, Inorganica Chimica Acta, The Journal of Chemical Society, dan DaltonTransactions. Termasuk jurnal kimia berbahasa Jerman, Zeitschrift f�r Anorganische und AllgemeineChemie.

Peneliti kelahiran Bululawang, Malang, 29 September 1956 itu juga menulis artikel untuk beberapa jurnal nasional bidang kimia. Termasuk puluhan artikel yang dia tulis untuk jurnal MIPA UM (Universitas Negeri Malang, dulu IKIP Malang), forum penelitian di Lemlit UM, dan media Alchemie FMIPA Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS).

Sejak 23 tahun lalu, dosen di Departemen Kimia UM itu juga menulis delapan buku kimia. Baik untuk jenjang SMA maupun jenjang pendidikan S-1. Beberapa buku yang dia tulis dalam bahasa Inggris diperuntukkan bagi siswa SMA berstandar internasional.

�����Bukupertamanya berjudul: Teori VSEPR: Teori Kepolaran dan Gaya Antarmolekul. Buku ini diselesaikan dalam waktu 20 tahun, sejak masih kuliah S-1. Sedangkan buku-buku lain dia selesaikan, rata-rata 10-15 tahun.

Penelitian yang dilakukan Effendy konsisten dalam bidang kimia anorganik fisik, konsentrasi kristalografi. Dia melakukan penelitian secara berantai dalam bidang yang masih jarang diterjuni peneliti kimia di Indonesia itu. Karena ketekunannya dalam bidang itulah, dia hingga saat ini masih aktif sebagai visiting researcher pada departemen kimia di The University of Western Australia. Tenaganya masih dibutuhkan di sana.

Golongan penelitian yang ditekuni bapak tiga putra itu adalah basic science (ilmu pengetahuan dasar) kimia.

"Tanpa penelitian basic science yang kuat, sulit bagi negara ini bisa cepat maju dalam pembangunan bidang kimia. Bidang kimia banyak sekali kaitannya dengan kehidupan," ungkap dosen teladan UM 1997 itu.

Dia mencontohkan, penelitiannya banyak berhubungan dengan struktur sebuah senyawa. Termasuk mensintesis (menciptakan) sebuah senyawa baru. Dengan mengetahui sebuah struktur suatu senyawa kimia secara jelas, bisa diprediksikan kegunaan sebuah senyawa tersebut. Senyawa baru yang dibuat dan dipetakan struktur atomnya bermanfaat untuk reaksi yang lebih besar. Kegunaannya bisa untuk dunia kedokteran, pertanian, industri, dan obat-obatan.

Di banyak universitas luar negeri, keahlian mengutak-atik struktur sebuah senyawa kimia penting untuk pembuatan obat-obatan kimia. Pengetahuan struktur sebuah senyawa bisa untuk menentukan arah reaksi yang diharapkan. Dengan begitu, banyak problem dalam kehidupan yang bisa diperbaiki dengan pendekatan pengetahuan struktur sebuah senyawa kimia.

"Beberapa penelitian saya digunakan untuk aplikasi pembuatan antikanker, antijamur dan antibakteri oleh ilmuwan di Australia," ungkap Effendy.

Menjadi peneliti, katanya, adalah tugas dosen. "Tugas dosen utamanya adalah meneliti untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Di luar negeri, semua dosen begitu. Hanya di Indonesia yang tidak begitu," sesalnya.

Saran dia kepada para dosen, mereka harus mulai konsentrasi melakukan penelitian. Sebaiknya mereka bekerja sama dengan peneliti dari luar negeri untuk bisa mengatasi masalah pendanaan. Sebab, dana penelitian sangat besar. Dia contohkan, untuk membuat sebuah senyawa baru, minimal dibutuhkan dana USD 2.000 (sekitar Rp 19 juta). Itu belum termasuk analisis struktur dan segala aspek lain. Tanpa kerja sama dengan peneliti luar negeri, sulit menghasilkan penelitian yang berkualitas dan dijadikan referensi internasional.

***

Dengan keilmuan yang dia kuasai, Effendy mendapat banyak penawaran mengabdi secara tetap di institusi pendidikan lain. Di luar negeri, misalnya The University of Western Australia, maupun sebuah universitas di Kanada. Beberapa perguruan tinggi di dalam negeri, sebut saja ITB, UGM, dan UI, juga pernah menawarinya untuk pindah meneliti. Namun, semua tawaran itu dia tolak. Hingga kini dia masih bertahan sebagai peneliti dan dosen kimia UM. Untuk tawaran luar negeri, dia memilih menjadi visiting researcher (peneliti tamu).

Mengapa semua tawaran itu dia tolak? Bagi Effendy, menjadi manusia bermanfaat jauh lebih penting ketimbang hanya mengejar materi. Untuk menjadi manusia bermanfaat bagi banyak orang, haruslah memilih wilayah yang banyak terdapat masalah. Indonesia, kata Effendy, masih punya segudang masalah yang bisa diselesaikan dengan kemampuan keilmuan yang dia miliki. Berbeda dengan negara maju yang sudah banyak tenaga ahli kimia.

Dia merasa lebih banyak bermanfaat bagi masyarakat apabila berada di Indonesia. Di luar negeri, meski kompensasi materi jauh lebih besar, dia menganggap manfaatnya hanya untuk sekelompok orang. "Saya tetap harus membangun Indonesia ini. Sebab, di sini masih banyak problem yang harus dijawab. Buku pelajaran kimia yang selalu up to date dengan perkembangan ilmu pengetahuan dunia saja, belum banyak yang ngurusi," kata profesor yang lahir di desa kecil bernama Wandanpuro, Bululawang, Kabupaten Malang itu.

Ke depan, bimbingan dari Prof Allan H. White PhD (profesor dengan publikasi terbanyak di dunia) itu ingin mendirikan pusat kristalografi di UM. Kristalografi bisa dikatakan sebuah metode cepat dan modern untuk mengetahui sebuah struktur senyawa kimia. Dengan kristalografi, banyak jenis bahan alam yang bisa diidentifikasi struktur kimianya untuk kemudian diarahkan kepada manfaat yang diinginkan.

"Di Indonesia pusat kristalografi belum ada. Bahkan, di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sekalipun. Padahal, alat dan metode ini sangat penting untuk kemajuan ilmu pengetahuan kimia dan kimia aplikasi," kata peneliti yang mengisi waktu luangnya dengan kegiatan bersih-bersih di rumah itu. (yos/jpnn/kum)

[ Senin, 22 September 2008 ]
Gunawan Indrayanto; Do the Small Thing
Teliti Pasak Bumi, di Malaysia Jadi Tongkat Ali

Sejak 1983 hingga kini, sedikitnya sudah ada 87 karya ilmiah Gunawan Indrayanto yang dipublikasikan di berbagai jurnal internasional. Karena dinilai produktif, guru besar farmasi Unair itu dipercaya beberapa jurnal internasional sebagai penyeleksi karya ilmiah sebelum dipublikasikan.

-----------------------

Do the small thing (melakukan hal kecil). Itulah kalimat yang berkali-kali diucapkan Gunawan Indrayanto, guru besar Fakultas Farmasi Universitas Airlangga (Unair), ketika ditanya seputar keberhasilannya menjadi satu di antara enam ilmuwan Indonesia yang masuk dalam Wise Index of Leading Scientists and Engineer untuk kategori medical science.

Daftar tersebut dikeluarkan oleh COMSTECH (Standing Committee on Scientific and Technological Cooperation), lembaga yang bertujuan meningkatkan promosi serta kerja sama sains dan teknologi di antara negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI). Karena itu, ilmuwan yang masuk dalam daftar tersebut hanya berasal dari negara-negara anggota OKI.

Menurut Gunawan, prestasi yang diraihnya tersebut tidaklah istimewa. "Saya tidak tahu kalau dinilai mereka (COMSTECH). I just do the small thing," kata pria 59 tahun itu ketika ditemui di ruang kerjanya di Fakultas Farmasi Unair.

Menurut Gunawan, daftar yang dikeluarkan COMSTECH bukanlah yang pertama. Dulu, sebuah lembaga di Inggris juga pernah membuat daftar serupa. Waktu itu, Gunawan juga masuk di dalamnya. Begitu pula lima ilmuwan lainnya. Namun, tidak ada tindak lanjut dari daftar tersebut. "Saya juga tahunya waktu iseng buka internet. Saya cukup tahu, oh nama saya ada disana. That's it," katanya.

Soal namanya masuk dalam daftar yang dikeluarkan COMSTECH, Gunawan menyatakan sudah tahu sejak Maret lalu. Ada banyak indikator penilaian yang diterapkan COMSTECH. Mulai dari banyaknya publiksi internasional sampai dengan citation index atau banyaknya karya ilmiah dari orang tersebut yang dikutip atau dirujuk oleh orang lain. "Cara ngeceknya gampang. Coba buka situs google scholar lalu ketik nama orang yang diinginkan. Nanti terlihat berapa banyak dia dirujuk," jelas bapak dua anak tersebut.

Hasil karya Gunawan yang masuk publikasi internasional terbilang cukup banyak. Hingga kini, sedikitnya sudah ada 87 karya ilmiahnya yang dipublikasikan di berbagai jurnal internasional yang diakui kredibilitasnya. Tahun 1983 Gunawan mulai memublikasikan karya ilmiahnya dalam jurnal internasional. Sejak itu, dalam setahun, dia mengeluarkan tiga hingga empat karya dengan publikasi internasional.

Saking seringnya nama Gunawan muncul, beberapa jurnal internasional menunjuknya sebagai reviewer atau penelaah. Jadi, setiap karya ilmiah yang masuk ke jurnal tersebut dikirim ke Gunawan untuk ditelaah kelayakannya. Mulai objek, metode, hingga proses penelitiannya. Bila tidak layak, karya ilmiah itu dikembalikan. Tapi, jika lolos, akan diterbitkan dalam jurnal tersebut.

Sedikitnya enam jurnal internasional yang memercayai Gunawan melakukan tugas berat tersebut. Karena itu, di atas meja kerjanya terdapat tumpukan karya ilmiah yang menunggu giliran untuk dikaji. "Ini salah satu karya ilmiah yang saya telaah. Karena penelitiannya pernah dilakukan orang lain, ya saya nyatakan tidak layak. Jadi, harus dikembalikan," jelasnya, sambil menunjukkan salah satu karya ilmiah di mejanya.

Pria yang selalu membawa dua kacamata -satu untuk baca dan satu untuk jalan- itu merasa ironis dengan adanya daftar yang dikeluarkan COMSTECH tersebut. Dari 200 juta lebih penduduk Indonesia, hanya enam ilmuwan yang dianggap mampu berbicara di level internasional. Bandingkan dengan Malaysia yang penduduknya jauh lebih sedikit tapi bisa menyumbangkan 22 ilmuwan dalam daftar tersebut.

Ketika ditanya penyebab perbedaan tersebut, Gunawan angkat bahu. Apakah ilmuwan Indonesia tidak bagus? Bukannya menjawab, dia malah balik bertanya. "Indikator bagus itu seperti apa. Harus dijelaskan lebih detail," tegasnya. Suami Arlina Sugiarti itu memang tergolong orang yang hati-hati. Dia tidak mau mengomentari sesuatu tanpa batas yang jelas.

Kendati demikian, Gunawan mengatakan, ada beberapa hal yang membuat ilmuwan Indonesia sulit berkembang. Antara lain, dana, penghargaan, dan kemauan. Ketiga faktor tersebut melibatkan pemerintah. Pria yang selalu tertarik meneliti bioteknologi tanaman, kimia bahan alam, serta analisis kimia/farmasi dengan kromatografi itu menganggap dana yang disediakan pemerintah sangat kurang.

Dia lalu menceritakan pengalamannya selama ini. Banyak penelitiannya yang harus terhenti karena kekurangan dana. "Di sini dana penelitian paling banter ratusan juta. Beda dengan teman-teman saya di luar negeri. Ilmuwan di Malaysia, misalnya, bisa berkonsentrasi meneliti tanpa bingung memikirkan dana," jelasnya. Dana pula yang sering membuat Gunawan meminta bantuan teman untuk meneruskan penelitiannya.

Tidak hanya itu, pembagian dana penelitian dari pemerintah juga dirasa kurang tepat sasaran. Diceritakan, dia pernah mengajukan proposal penelitian yang disusun secara serius. Bahkan, membutuhkan waktu lama karena dibuat sedetail mungkin. Ternyata, setelah diajukan, proposal ditolak. Kali lain, dia membuat proposal seadanya. Hanya dua hari. Saat diajukan, proposal tersebut langsung disetujui.

Menurut Gunawan, Indonesia mestinya bisa bicara lebih banyak di dunia internasional. Pasalnya, negara ini memiliki sumber daya alam yang beragam. "Mungkin pemerintah bisa lebih teliti mengalokasikan dana. Kalau ada perguruan tinggi, lihat strong point-nya dimana. Nah, itu yang harus didukung agar bisa berkembang. Ini agar setiap perguruan tinggi memiliki spesialisasi," terangnya.

Selain dana, hal lain yang menghambat adalah kurangnya penghargaan dari pemerintah. Contoh kasusnya adalah penelitian tentang pasak bumi untuk meningkatkan vitalitas pria. "Saya sudah meneliti tahun 1974. Mestinya, hasilnya bisa ditindaklanjuti. Tapi karena tidak ada respons dari pemerintah, ya berlalu begitu saja," katanya. Sekarang, hasil penelitian tersebut dikembangkan oleh Malaysia dan terkenal dengan nama ramuan tongkat ali. (any/kum)

***


Sumber :

Mailis DikBud@yahoogroups.com

Selasa, 23 September 2008

0 komentar:


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Dresses. Powered by Blogger